[Berdebar] – [2] Blind Date

berdebar_pitsansi

Main Cast: KIM WOO BIN as DANIEL RIGEL

BAE SUZY as SANIA OSCAR

OK TAECYEON as ERIC STEVANUS

IM YOONA as LAURA LARASATI

Sinopsis  |  Part 1  |  Part 2  |  Part 3  |  Part 4  |  Part 5  |  Part 6  |  Part 7  |  Part 8  |  Part 9

Part 10  |  Part 11  |  Part 12 [Proteksi]  |  Part 13 [Proteksi]  |  [End] Part 14 [Proteksi]

“Sania, hari ini kau mau kemana lagi?” Tanya seorang wanita setengah baya yang duduk tepat di hadapan Sania.

“Ada pekerjaan yang harus kulakukan hari ini, Bibi. Kau tidak perlu cemas!” Jawab Sania sambil melahap suapan terakhir sop di piringnya.

“Kau tidak seharusnya bepergian kesana kemari untuk bekerja yang tidak jelas. Lebih baik kau bekerja saja di rumah makan Bibi ini. Yah, walaupun Bibi memang tidak sanggup memberikan upah yang banyak untukmu.”

“Tidak, Bi. Aku tidak memikirkan itu. Aku sangat berterima kasih karena Bibi sudah sangat baik selama ini. Bibi tidak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja.” Lanjut Sania berusaha menenangkan. Kini ia mulai menenggak habis air teh hangat yang dibuatkan khusus oleh bibi Marin—pemilik rumah makan makanan cepat saji yang kini tengah duduk bersamanya.

Sania bangkit dari duduknya dan tak lupa berpamitan pada bibi Marin sebelum meninggalkan tempat itu. “Bibi, aku pergi dulu. Terima kasih untuk makanan hari ini. Aku doakan semoga rumah makan Bibi ramai hari ini.”

“Jaga dirimu, Sania! Jangan pulang terlalu larut. Kalau kau lapar, datang saja kesini.” Bibi Marin sangat perhatian terhadap Sania. Ia sudah menganggap Sania seperti anak kandungnya sendiri.

“Ya, Terima kasih, Bi! Aku pergi dulu!”

—<><>—

Dddrrtt ddrrtt

Getaran singkat dari ponsel Daniel menandakan sebuah pesan telah diterima. Daniel yang tengah sibuk berkutat dengan berkas-berkas di meja kerjanya malam itu sedikit terusik.

Ia mengambil ponselnya di sudut meja kerjanya dan membaca sekilas isi pesan itu.

Dari Fendy, teman sekolahnya sewaktu masih duduk di tingkat menengah atas.

Niat Daniel yang awalnya ingin mengabaikan pesan itu akhirnya tidak berhasil. Pesan yang baru saja dikirim Fendy benar-benar telah memecah konsentrasinya.

Daniel melepaskan kacamata kerjanya dan mulai bersandar di kursinya, lalu kembali membaca ulang isi pesan itu.

 

Daniel, kudengar kau akan mengajak kekasihmu saat pesta pertunangan Eric nanti. Siapa gadis itu? Apakah dia Nadya? Aku tau akhirnya kau menerima cintanya. Hehe

 

Nadya? Daniel mengerutkan keningnya begitu mencoba mengingat sebuah nama itu. Tidak butuh waktu lama sampai Daniel mengingatnya. Ia ingat Nadya adalah salah seorang adik kelasnnya yang pernah menyatakan cintanya dua tahun berturut-turut kepadanya namun dua kali pula Daniel menolaknya. Tetapi setelah Daniel lulus sekolah, ia sudah tidak pernah berhubungan dengan gadis bernama Nadya itu.

“Apa aku harus coba menghubunginya? Kurasa tidak buruk bila aku mencoba mengajaknya nanti!” Daniel berjalan menuju lemari di sudut ruang kerjanya. Ia terlihat sedang mencari-cari sesuatu di setiap laci lemari itu.

“Ini dia,” ucapnya puas karena pencariannya akhirnya membuahkan hasil. Di genggamannya kini ada sebuah buku lama. Ia membawanya kembali ke meja kerjanya.

Daniel membuka lembar demi lembar buku yang lebih tepat disebut buku tahunan semasa ia sekolah tingkat menengat atas. Gerakan tangannya cepat. Jarinya menari di atas permukaan buku itu ketika mencoba mencari sebuah nama pada halaman kontak siswa.

“Ada, Nadya Suhendar. Apa aku harus mencoba menghubunginya sekarang?” Pikirnya lagi.

Cukup lama Daniel menimbang-nimbang keputusannya. Ia sibuk berjalan mondar mandir di depan meja kerjanya sambil berpikir keras. “Apa yang harus kukatakan padanya nanti?”

Daniel berdecak kesal beberapa kali. Hampir saja ia berhasil melupakan permasalahan mengenai pasangan ini. Namun pesan singkat dari Fendy kembali membuatnya gelisah. Ia melirik tanggalan meja dan mendapati tanggal pertunangan Eric hanya tinggal satu minggu lagi. Tanpa berpikir lebih lama, ia segera menekan kontak Nadya untuk mencoba menghubungi gadis itu.

Cukup lama Daniel menunggu panggilannya dijawab dari seberang telepon. Ia terlihat makin gelisah dan panik ketika cukup lama hanya mendengar nada monoton dari ujung ponselnya.

Beberapa saat kemudian akhirnya terdengar suara dari seberang telepon, “Halo?”

“Nadya Suhendar?” Ucap Daniel yang kini tengah mematung di tempatnya berdiri.

“Ya?”

“Apa kau ada waktu minggu depan?”

—<><>—

“Bagaimana mungkin aku berani untuk menghubunginya lagi?” Daniel lagi-lagi gelisah untuk kesekian kalinya. Hal ini benar-benar membuatnya pusing. Kalau saja dari awal ia mengaku pada Eric bahwa ia belum memiliki kekasih, tentu keadaannya tidak akan sekacau ini. Tapi lagi-lagi ego menguasai dirinya. Ia akan sangat malu dan sudah dipastikan menjadi bahan ejek sahabat-sahabatnya bila ia mengaku belum memiliki kekasih.

“Apa yang harus kulakukan sekarang?” Daniel masih bimbang. Ia meraih gagang telepon di sudut meja kerjanya, lalu menekan tiga digit angka. “Niken?”

“Ya, Tuan. Ada yang bisa kubantu?” Jawab Niken dari seberang telepon.

“Apa yang akan kau lakukan bila menerima telepon dari nomor yang tidak kau kenal?”

Hening cukup lama. Sepertinya Niken berusaha mencerna pertanyaan yang baru saja diajukan Daniel padanya. Jauh dari perkiraannya yang mengira Daniel akan menanyakan sesuatu tentang pekerjaannya.

“Niken, apa kau mendengarku?”

“Y-ya. Aku akan tetap mengangkat panggilan itu dan bertanya siapa pemilik nomor telepon itu,” jawab Niken akhirnya.

“Lalu, apa yang akan kau lakukan bila orang asing itu tiba-tiba mengajakmu bertemu tanpa memperkanalkan diri?”

Kembali hening. Kali ini Niken dibuat semakin tidak mengerti dengan pertanyaan-pertanyaan atasannya itu.

“Kau hanya perlu menjawabnya!” Desak Daniel.

“Aku akan segera memutus sambungan telepon,” jawab Niken yang masih terheran-heran.

“Benarkah? Apa semua wanita akan melakukan hal yang sama?” Gumamnya pelan.

“Ya?” Niken merespon karena tidak begitu jelas mendengar ucapan Daniel barusan.

“Baiklah. Terima kasih.” Daniel menutup teleponnya sekaligus membuat Niken kembali kebingungan.

“Aarrgh!! Sepertinya caraku memang salah. Seharusnya aku tidak terburu-buru seperti itu!”

Di tengah-tengah kerisauan hatinya, tatapan Daniel terpaku pada sebuah kartu nama yang sebelumnya ia biarkan tergeletak begitu saja di atas meja kerjanya.

“Apa aku harus mencoba menghubunginya?” Daniel berusaha menimbang-nimbang keputusannya.

—<><>—

Sania tidak dapat menahan tawanya yang meledak-ledak. Perutnya terasa sakit karena terlalu banyak tertawa hari ini.

Seseorang yang duduk menghadapnya terlihat kesal dengan tingkah lakunya yang tidak mau diam. Dia adalah Daniel yang sedari tadi hanya dapat menahan kesal.

“Sebenarnya apa yang kau tertawakan?” Kesal Daniel untuk kesekian kalinya.

Sania nampak sulit menghentikan tawanya, hingga butuh waktu cukup lama untuk sedikit meredam tawa nyaringnya. “Ceritamu tadi sangat lucu,” ucapnya masih diiringi tawanya yang mulai terkontrol.

“Aku memanggilmu bukan untuk kau tertawakan.”

“Baiklah, baiklah! Aku minta maaf. Lagi pula, apa kau tidak tau bagaimana cara yang tepat untuk mengajak seorang gadis bertemu?”

“Kalau aku tau caranya, aku tidak akan meneleponmu! Kau harus menolongku agar aku tidak lebih ditertawakan sahabat-sahabatku nanti!”

“Aku mengerti! Aku akan membantumu, kau tenang saja! Tapi, bisakah kau membayar jasaku lebih dulu?” Tawar Sania yang kini mulai menegakkan posisi duduknya.

“Aish~ kau pikir aku tak tau sifat licikmu? Apa kau ingin menipuku seperti pria yang mengejarmu kemarin?” Tolak Daniel. “Aku tidak sebodoh itu!”

“Baiklah, aku tidak akan menipumu. Aku akan menolongmu karena kau juga telah menolongku kemarin.” Ucap Sania akhirnya.

“Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?”

“Kau hanya perlu mengikuti perkataanku. Kau harus memulai mengirim pesan lebih dulu padanya.” Sania menerangkan.

“Dia? Maksudmu Nadya?” Tanya Daniel masih tak mengerti.

Sania mengangguk. “Maksudku adalah perempuan yang kau ceritakan tadi!”

“Apa dia akan membalas pesanku? Ia bahkan memutuskan sambungan telepon dariku!” Nada suara Daniel terdengar putus asa.

“Itu karena kau tidak lebih dulu memperkenalkan diri. Kau tenang saja, ia pasti akan membalas pesanmu. Kau hanya perlu mengikuti semua perkataanku!” Sania memberikan senyuman penyemangat di akhir kalimatnya.

—<><>—

Daniel menuruti semua perkataan Sania agar Nadya mau menemaninya ke acara pertunangan Eric minggu depan. Meski merayu atau pun pendekatan bukanlah keahliannya, namun Daniel terus mencoba agar ia tidak dipermalukan oleh teman-temannya apabila ia tidak membawa pasangan nanti.

Hari demi hari, Nadya semakin dekat dengan Daniel berkat jurus-jurus yang diberikan Sania.

Pesta pertunangan Eric hanya tinggal dua hari lagi. Daniel mencoba menghubungi Nadya untuk memintanya menjadi pasangannya saat hari itu tiba.

“Halo?” Jawab Nadya di seberang telepon.

“Ya, Nadya. Apa kau masih mengenal Eric? Teman sekelasku saat di sekolah tingkat atas.” Daniel memulai pembicaraan.

“Ya. Ada apa?”

“Dua hari lagi ia akan melangsungkan pesta pertunangannya dengan Laura. Apa kau mau pergi bersamaku?”

“Hm..”

Daniel menunggu dengan tidak sabar jawaban dari Nadya, hingga gadis itu akhirnya bersuara.

“Maafkan aku, aku akan pergi bersama Ricky ke acara itu!”

“Ricky?” Daniel terkejut bukan main mendengar nama itu disebut. Ricky adalah salah satu teman sekelasnya semasa sekolah di tingkat atas dulu. “Ada hubungan apa kau dengannya? Apa dia itu kekasihmu?”

“Y-ya. Maaf tidak memberitahumu sebelumnya.”

Daniel makin emosi. “Kau—”

—<><>—

“Bagaimana bisa ia mempermainkanku seperti ini? Ia hanya membuang-buang waktuku!” Daniel menumpahkan semua emosinya kepada Sania yang memenuhi permintaannya bertemu di sebuah cafe malam itu.

“Kau harus lebih menahan emosimu!” Ucap Sania berusaha menenangkan.

“Bagaimana aku tidak marah. Acara pertunangan Eric hanya tinggal dua hari lagi, dan aku belum juga mendapatkan pasangan.” Kesal Daniel mulai frustasi.

“Besok kita coba dengan blind date. Aku sudah membuat janji dengan beberapa orang gadis lajang yang juga ingin segera mendapatkan pasangan dalam waktu dekat. Kuharap kau tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.”

—<><>—

“Apa kau biasa berkencan dengan busana formal seperti ini?”

Daniel memperhatikan penampilannya sekali lagi. Setelan kemeja putih lengkap dengan dasi dan jas hitam serta celana formal dan sepatu hitam mengkilat. “Apa yang salah dengan penampilanku?” Protesnya tak terima pada Sania yang masih saja menatapnya dengan tatapan kasihan. Wanita itu baru tiba di restaurant yang mereka sepakati beberapa waktu lalu. “Duduklah!”

Sania mengakhiri tatapannya lalu segera mengambil posisi duduk tepat di hadapan Daniel.

Sejenak hening menyeliputi mereka. Daniel menyesap kopi hitam yang baru saja tiba sebelum Sania datang tadi. Ia mengerutkan keningnya ketika merasakan pahit kopi yang panas menyentuh lidahnya. Sementara Sania memperhatikan pria di depannya dengan sangat detail.

“Mengapa kau menatapku seperti itu?” Tanya Daniel heran setelah meletakkan kembali cangkir kopi ke tempatnya.

Sania masih belum menghentikan kegiatannya. “Setelah kuperhatikan, kau itu sangat tampan.”

Dengan spontan, Daniel mengangkat dagunya tinggi-tinggi mendengar pujian itu. “Tentu saja!” Ucapnya percaya diri.

“Tapi sayang, selera berkencanmu sangat payah!” Kata-kata Sania sukses membuat Daniel terpaksa menurunkan dagunya kembali lalu menatap marah ke arah Sania.

“Hei, apa maksudmu? Kau memintaku buru-buru datang ke tempat ini untuk memulai blind date yang kau rencanakan ini. Dari kantor, aku langsung ke tempat ini. Aku tak sempat mengganti pakaianku.” Daniel berusaha mengelak walau sebenarnya itu bukan alasan utama. Betul yang dikatakan Sania tadi, Daniel sama sekali tidak memiliki selera dalam berkencan, termasuk dalam hal berpakaian. Ia juga belum tau penampilan bagaimana yang dimaksud Sania yang seharusnya ia kenakan untuk berkencan.

“Baiklah, aku mengerti. Lagi pula kita sudah tidak punya banyak waktu. Wanita itu akan datang sebentar lagi!”

“Secepat itu?” Daniel nampak panik. Ia gugup, gugup yang sangat berlebihan di mata Sania.

“Tenanglah, ia tidak akan melahapmu hidup-hidup. Ia tidak suka daging manusia!” Ucap Sania kesal. Apabila Daniel terus bersikap seperti itu, tentu pria itu tidak akan berhasil dalam misi ini.

Daniel nampak mulai dapat meredam sikap paniknya yang berlebihan, ia lalu melemparkan tatapan sinis ke arah Sania, “Apa kau sedang bercanda denganku? Sama sekali tidak lucu.”

“Kau akan merusak semuanya jika terus bersikap seperti itu. Lemaskan bahumu. Relax, jangan terlalu kaku. Kau malah akan membuatnya takut.”

Daniel menurut. Mungkin ada benarnya juga ia menuruti perkataan Sania. Ia tidak berpengalaman sama sekali dalam berkencan. Diusianya yang hampir menginjak kepala tiga, ia sudah mendapatkan segalanya dalam hal karir. Namun saking giatnya meniti karir hingga berada di puncak kesuksesan, ia melupakan satu hal yang juga sangat penting, yaitu cinta.

Hidupnya hampa, ia merasa sangat kosong. Daniel belum dapat merasakan kebahagiaan dengan kariernya yang luar biasa cemerlang, tidak seperti sahabat-sahabatnya yang walaupun kariernya tidak secemerlangnya, namun mereka nampak bahagia berbagi kebahagiaan dengan seseorang yang mereka cintai.

Cinta? Jatuh cinta? Daniel bahkan tidak tau rasanya seperti apa. Ia merasa dirinya benar-benar menyedihkan.

“Namanya Monica, usianya 25 tahun. Ia adalah wanita karier. Dan ia sangat menyukai coklat.”

Daniel mendengarkan dengan seksama informasi singkat yang diberikan Sania kepadanya. Ia lalu mengambil selembar foto ukuran 3R yang diberikan Sania. “Apakah wanita ini yang bernama Monica?” Tanyanya. Sania mengiyakan dengan anggukan kecil.

Seorang wanita dengan paras cantik nampak dalam foto yang digenggam Daniel. Mata wanita itu coklat dengan rambut kepirang-pirangan. “Lumayan,” komentar Daniel. Meski ia tidak begitu paham dari sisi apa ia harus menilai kecantikan seorang wanita, setidaknya wanita itu tidak akan membuatnya malu apabila ia membawanya ke pesta besok. Itu pun kalau blind date ini berhasil.

Sania berdecak sinis pada Daniel. “Kau bilang lumayan? Ia sangat cantik. Justru sepertinya kau yang beruntung bila ia mau menerimamu sebagai kekasihnya!” Cibirnya kemudian.

Daniel melotot. “Bisakah kau diam? Aku membayarmu bukan untuk mengejekku!”

“Baiklah, maafkan aku. Sekarang pakai headset ini. Aku akan memberikan arahan dari meja lain. Kau harus mengikuti semua yang kuperintah nanti. Jangan lakukan kesalahan. Kau ingat itu?” Sania menunjuk Daniel untuk mengingatkan.

Daniel berdecak kesal, nampak tak suka ditunjuk seperti itu. “Aku mengerti. Aku akan menurut!” Ucapnya akhirnya. Ia segera memasang headset itu di telinga kirinya lalu menyambungkannya dengan ponselnya melalui sambungan bluetooth.

Sania beranjak dari duduknya dan berpindah ke meja yang tidak jauh di depan Daniel. Ia sengaja memilih tempat yang strategis sehingga dapat memantau setiap ekspresi wajah pria itu.

Daniel menunggu dengan tidak sabar. Ia tidak biasa menunggu seseorang, justru ia lebih sering membuat pegawai-pegawai dan rekan kerjanya menunggunya di hampir setiap rapat yang dipimpinnya. Ia menyesap kopinya yang hampir dingin sekali lagi. Ekspresi di wajahnya terlihat sangat tidak sabar.

“Senyumlah sedikit, kau akan merusak suasana hati siapa pun yang ada di sekitarmu!” Sania berbisik dari headset yang dikenakan Daniel. Nadanya ketus dan sangat mengeritik.

Daniel melirik ke arah Sania dengan terpaksa lalu memaksakan sudut-sudut bibirnya terangkat dengan gerakan yang sangat kaku.

“Kau sekarang justru terlihat sangat mengerikan.”

Senyum kaku di wajah Daniel memudar, berganti sorotan mata tajam ke arah Sania. Namun tanpa ia sadari, ia mulai tenang dan mulai sabar menunggu. Peringatan dari Sania ternyata sangat manjur.

Sania mengulum senyum tipisnya beberapa kali ketika terus memperhatikan Daniel dari jarak jauh. Seorang pria dengan setelan jas rapih itu terkadang mengingatkannya dengan seseorang, seseorang yang pernah mengisi hatinya, atau mungkin masih ada di hatinya hingga sekarang.

Beberapa detik kemudian Sania menggeleng kuat. Ia tidak boleh seperti ini. Ia tidak boleh lagi mengingat orang itu. Tidak boleh, batinnya.

Untuk mengalihkan pikirannya, Sania mengalihkan pandangannya ke arah pintu restaurant, menunggu seorang wanita yang akan menjadi partner blind date Daniel. Tidak beberapa lama kemudian seorang wanita yang serupa dengan foto tadi muncul dari balik pintu. Sania menatap lega karena penantiannya berbuah, sedangkan Daniel mendadak gugup dan salah tingkah. Pria itu terlihat bingung harus melakukan apa.

“Berdirilah! Sambut wanita itu dengan senyuman yang paling menawan yang kau punya!”

Bisikan Sania barusan sangat membantu. Daniel menurut sesuai arahan dari wanita itu. Ia berusaha untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun.

“Perkenalkan, namaku Daniel.” Daniel mengulurkan tangannya penuh santun ke arah wanita yang baru saja tiba di depan mejanya.

Wanita itu menyambut dengan ramah dan penuh senyum. “Namaku Monica. Senang berkenalan denganmu.”

Keduanya saling tatap cukup lama tanpa suara lagi. Mereka masih dalam posisi berdiri berhadapan.

“Apakah kau merasakan love at the first sight?”

“Apa?” Daniel tak mengerti dengan bisikan Sania barusan.

“Kupikir kau menyukainnya, kau menggenggam tangannya lama sekali.”

Daniel tersadar, ia segera melepaskan genggaman tangannya dengan cepat. Sania salah. Daniel hanya bingung apa lagi yang harus ia lakukan. Ia justru mengira Sania sengaja membiarkannya lama bersalaman dengan wanita itu sebagai bagian dari trik Sania untuk melancarkan misi mereka.

Mereka, Daniel dan Monica duduk saling berhadapan dengan ekspresi canggung yang sangat kentara di wajah Daniel. Tidak lupa, Daniel memesankan minuman coklat hangat untuk wanita itu.

Keduanya mulai berbincang-bincang saling menanyakan hal-hal pribadi seperti umur, hobi, pekerjaan dan.. berapa lama melajang.

Sudah berapa lama melajang? Daniel mengulang pertanyaan yang baru saja dilontarkan Monica kepadanya. Ia bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia jujur dengan menjawab seumur hidup, bukan? Itu akan sangat memalukan bagi Daniel.

“Kurang lebih tiga tahun,” jawab Daniel sesuai intruksi Sania di telinganya.

Monica nampak terkejut. Mungkin ia merasa lama sekali Daniel tidak membuka hati untuk wanita lain.

“Alasan apa yang membuat kalian putus?”

Daniel masih kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan Monica yang nyatanya tak pernah ia alami sebelumnya. Ia hanya berharap Sania segera membisikkan jawaban yang tepat untuknya.

Harapan Daniel terwujud, tidak lama kemudian Sania membantunya dengan membisikan sebuah kalimat untuk diucapkan Daniel. Namun bukannya melontarkan kalimat sesuai intruksi Sania, Daniel malah berteriak dengan nyaring, “Apa kau gila?”

Monica terbelalak tak percaya dengan teriakan Daniel yang tiba-tiba. Sementara Sania menundukkan kepala dalam-dalam, menyesalkan kata-kata yang terlontar oleh Daniel.

Teriakan Daniel tadi sangat nyaring sehingga bukan hanya Monica dan Sania yang dibuat terkejut, tetapi seluruh penghuni restaurant itu kompak menoleh ke meja Daniel dalam waktu bersamaan. Tidak lama kemudian Monica beranjak dari kursinya dan mulai berpamitan singkat pada Daniel dengan alasan yang dibuat-buat, ia lupa memberi makan anjing peliharaannya di rumah. Dalam hati Monica, ia mulai dapat menebak mengapa hubungan asmara Daniel dengan kekasih terakhirnya putus. Mungkin saja karena Daniel agak kurang waras dan sering dengan tiba-tiba berteriak seperti tadi.

Sania menghampiri Daniel dengan langkah-langkah cepat dan terburu-buru. Niatnya untuk memaki-maki Daniel terpaksa harus ia tahan karena pria itu telah lebih dulu memarahinya sambil bangkit berdiri.

“Apa kau sudah gila? Kau memintaku untuk menjawab kekasih lamaku memutuskanku karena pria lain. Mau ditaruh dimana mukaku? Kau akan menjatuhkan harga diriku.”

Sania melirik ke sekitar dengan gusar, para pengunjung lain masih menatap mereka dengan tatapan tak suka. “Duduklah dulu dan kecilkan suaramu. Apa kau mau diusir dari tempat ini?” Ancam Sania penuh amarah.

Daniel menurut, ia duduk masih dengan emosi yang meluap-luap.

“Menjatuhkan harga diri, katamu?” Sania berdecak sinis. “Kau tau apa tentang harga diri? Apa kau berharap kehidupan percintaanmu serba sempurna? Kalau kau merasa kaya raya, tampan dan juga mapan mengapa kau harus meminta bantuanku hanya untuk mendapatkan pasangan?”

Daniel terdiam dan mencoba untuk mencerna setiap perkataan Sania. Tidak keliru memang, ia merasa dirinya cukup tampan dan dengan karier yang cemerlang tentu membuat dirinya sangat mapan. Ia merasa sempurna sebagai pria dan merasa sosoknya itu disukai banyak wanita. Namun, apa lagi yang salah dengan dirinya? Mengapa ia belum juga mendapatkan wanita idamannya yang bisa membuatnya jatuh cinta?

“Tidak ada kisah percintaan yang sempurna. Setiap hubungan pasti ada lika liku, entah itu masalah kepercayaan, orang ketiga atau bahkan titik jenuh.” Lanjut Sania lagi. “Tidak ada yang mau hubungannya berakhir tragis, tapi siapa yang bisa melawan takdir?”

“Dari cara bicaramu, sepertinya kau sangat berpengalaman dalam hal percintaan. Apa kau punya kekasih?” Tanya Daniel mulai penasaran. Kata-kata Sania tadi mendorongnya untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu. “Atau percintaanmu berakhir tragis?” Tebaknya kemudian setelah Sania tidak juga menjawab pertanyaan pertamanya tadi.

“Mengapa kau jadi mau tau tentangku? Sudahlah, sebaiknya kau bersiap-siap, Helena akan segera sampai ke tempat ini.”

“Helena? Siapa dia?” Daniel terkejut mendengar nama asing yang disebutkan Sania tadi.

Partner blind date-mu selanjutnya.”

“Sebenarnya berapa wanita yang akan berkencan denganku hari ini?”

“Sebanyak-banyaknya!”

“Apa?” Daniel setengah berteriak.

“Aku tau hal ini pasti terjadi. Kau tidak akan berhasil bila hanya berkencan dengan satu wanita!” Kata Sania, ia berusaha tidak menghiraukan tatapan tak suka Daniel atas tindakannya. “Kumohon redamlah sedikit emosimu dan turuti semua yang kukatakan. Kau hanya akan menyusahkanku bila terus bertindak sesukamu!”

Daniel akhirnya menyandarkan tubuhnya ke kursi. Memang tidak seharusnya ia mengeluh dan menyalahkan Sania. Pikirannya kembali mengingat tanggal pesta pertunangan sahabatnya, Eric yang akan berlangsung besok. Ia tidak akan mendapatkan hasil apapun dalam upayanya selama ini bila tidak bisa menahan ego serta amarahnya.

Daniel tidak mau sampai dipermalukan dalam pesta besok. Sahabat-sahabat lamanya akan mencibir dan menertawakannya apabila ia tidak juga mengenalkan pasangannya. Terlebih ia telah berjanji pada Eric untuk membawa pasangan ke acara besok.

“Umurnya 26 tahun. Ia adalah pengusaha di bidang kuliner. Rumah makannya memiliki beberapa cabang di kota-kota besar. Satu lagi, ia paling suka bila menjadi pusat perhatian. Fokuskan tatapanmu padanya, dengan begitu kau akan semakin mudah mencuri hatinya.” Jelas Sania panjang lebar baru kemudian bangkit berdiri dan menjauh dari Daniel.

Daniel mulai dapat mengontrol diri dan nampak jauh lebih tenang ketika menunggu partner kencannya yang kedua, hingga akhirnya wanita yang bernama Helena muncul dan menghampirinya. Daniel mempraktekkan kembali arahan Sania untuk menyambut wanita itu, sama seperti ia menyambut wanita pertama tadi, Monica.

Menit-menit pertama berjalan dengan lancar. Daniel jauh lebih menurut walau matanya sulit untuk menunjukkan ketertarikan.

“Matamu… Sangat indah.” Ucap Daniel ketika mencoba sekuat tenaga untuk menahan egonya ketika mengulang kalimat yang diucapkan Sania barusan di telinganya. Kemudian Daniel tersenyum ke arah Helena, ini pun intruksi dari Sania, walau senyumannya terlihat sangat kaku dan penuh dengan keterpaksaan.

Helena tersenyum menanggapi pujian yang dilontarkan Daniel padanya. “Terima kasih. Kau juga terlihat sangat tampan.”

“Tentu saja!” Jawab Daniel cepat dengan nada sombong khasnya. Sedetik kemudian wajahnya berubah kecut ketika mendengar omelan Sania di telinganya.

Daniel melirik ke meja Sania, wanita itu menetapnya sinis sambil bergumam, “Jangan katakan apa pun yang tidak kuperintahkan!”

Daniel berdecak kesal dan kembali menatap Helena yang ternyata juga baru mengalihkan pandangan ke arahnya. Sebelumnya wanita itu juga mengikuti arah pandang Daniel ke meja Sania.

“Rambutmu indah.” Daniel melontarkan pujiannya lagi walau hatinya enggan melontarkan kata-kata itu. Ia hampir jenuh menuruti perkataan Sania yang tidak diinginkannya. Memuji muji orang lain benar-benar bukan gayanya. Hampir seumur hidupnya ia tidak pernah memuji orang lain dengan cara terang-terangan seperti ini, terlebih pada seorang wanita.

“Terima kasih,” ucap Helena mulai bosan. Entah sudah berapa kali ia mengucapkan kata-kata itu setiap kali Daniel memuji satu per satu bagian wajah atau tubuhnya. Ia juga mulai menyadari ekspresi aneh di wajah Daniel tiap kali pria itu melontarkan kata-kata pujian untuknya. Ia merasa Daniel tidak tulus saat mengucapkannya.

Daniel kembali tersenyum kaku ketika dari telinganya, Sania memintanya untuk terus tersenyum manis. Namun senyuman yang nampak di wajahnya sangat jauh dari kesan manis.

“Katakan padanya, kulitmu sangat halus dan kau sangat cantik!” Suara Sania mendadak membuat senyum Daniel luntur seketika.

Daniel nampak sudah hilang kesabaran. Ia melemparkan pandangannya sekali lagi ke arah Sania dengan sinis. Dari tatapannya, jelas dapat Sania baca keluhan hati Daniel yang seolah berteriak ‘apakah aku harus memujinya lagi?’

“Cepat katakan itu padanya!” Perintah Sania mulai tak sabar.

Akhirnya Daniel menurut, ia akhirnya mengulang kata-kata Sania tadi dengan lantang. “Kulitmu sangat halus dan kau sangat cantik!” Ucap Daniel penuh tekanan. Matanya beberapa kali melirik ke arah Sania seperti ingin berteriak sambil berkata ‘puas?’

Helena menyadari ada yang tidak beres. Entah itu pujian-pujian yang diberikan Daniel padanya, maupun tatapan Daniel yang selalu melirik wanita di meja lain.

“Terima kasih atas pujianmu.” Helena nampak sudah benar-benar bosan. Ia merasa telah dipermainkan. “Tapi sepertinya kata-kata pujianmu itu bukan untukku, tapi untuk wanita yang ada disana,” ia menunjuk Sania yang duduk tidak jauh di belakangnya. “Mungkin kau tertarik dengan wanita itu? Kau selalu saja melirik ke arahnya? Silahkan kau dekati dia. Aku tidak akan mengganggu!” Helena berdiri dari duduknya dengan hentakan keras telapak tangannya di atas meja. Dengan segera ia meraih tas genggamnya di atas meja lalu berbalik meninggalkan Daniel tanpa kata-kata lagi.

Daniel tidak bisa berbuat apa-apa selain menatap wanita itu dengan ekspresi heran. Ia sama sekali tidak mengerti apa kesalahan yang telah ia perbuat. Sejauh ini ia merasa sudah melakukan semua arahan Sania, baik itu tindakan maupun perkataan.

 

Setengah jam kemudian…

“Namanya Stasya, ia partner kencanmu yang terakhir. Aku tidak bisa membantumu lagi kalau kau gagal kali ini!” Suara Sania terdengar sangat mengancam dari seberang sana, membuat Daniel mau tak mau melirik sinis ke arah wanita itu.

Daniel jauh lebih menurut setelah nada ancaman dari Sania tadi. Ia juga tidak mau sampai gagal dalam misi ini. Namun perasaan memang tidak bisa dibohongi, seberapa keras pun Daniel berusaha bersikap sewajar dan selayaknya orang berkencan, celahnya masih sangat jelas terlihat. Senyumnya masih sangat kaku dan tidak alami. Gerakan tubuhnya juga sangat jelas menunjukkan pria itu nampak bosan dan tidak tertarik sama sekali.

Peringatan Sania yang berkali-kali mengoreksi senyuman dan gerakannya, diupayakan Daniel semaksimal mungkin, namun tidak banyak berpengaruh. Pria itu jelas tidak mengerti cara untuk membuka hatinya. Hingga hal yang tidak diinginkan pun terjadi. Stasya bangkit dari duduknya lalu dengan terang-terangan mengatakan pria seperti Daniel tidak cocok untuknya.

Daniel mulai geram dan kesabarannya sudah berada dalam titik akhir. Ia ikut berdiri dan mulai melampiaskan kemarahannya setelah Stasya berbalik dan menjauh darinya. “Hei, kau pikir kau itu siapa? Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Kau tidak cocok denganku.”

“Cukup!” Teriak Sania tak kalah nyaring. Wanita itu telah berada tepat di hadapan Daniel dan menghalangi pandangan pria itu dari pintu keluar restaurant. Matanya menyala penuh emosi. “Tidak bisakah kau bersikap wajar dan penuh perhatian kepada wanit-wanita tadi? Kalau saja kau mau coba membuka hati untuk mereka, semua tidak akan berakhir seperti ini!”

“Apa yang salah denganku? Membuka hati? Bagaimana caranya? Aku sudah mengikuti semua arahan darimu? Aku tidak mengerti dengan cara pikir wanita-wanita itu!” Daniel membela diri.

“Kau sangat tidak peka dengan perasaan wanita. Aku sempat tidak percaya pria sepertimu tidak pernah merasakan jatuh cinta, tapi kurasa aku harus percaya mulai sekarang.” Sania menghela nafas berat. “Kau tau apa yang membuat wanita menyukai seorang pria? Karena sikapnya. Sikapnya yang lembut, santun dan penuh perhatian. Tidak peduli setampan atau sekaya apa pun pria itu, bila sikapnya kasar dan dibuat-buat, itu tidak akan bernilai apa-apa. Aku sudah tidak bisa membantumu lagi. Tugasku cukup sampai…” Perkataan Sania selanjutnya tiba-tiba saja terhenti ketika menangkap sorot mata Daniel yang aneh. “Mengapa kau menatapku seperti itu?” Tanyanya heran.

Daniel masih saja menatap Sania dengan tatapan yang sulit diartikan, hingga beberapa saat kemudian ia menyunggingkan sebuah senyuman aneh.

“Jangan berpikiran yang macam-macam. Aku tidak akan mau membantumu lagi.” Sania seolah dapat membaca pikiran Daniel.

“Setelah kuperhatikan, kau sebenarnya tidak terlalu buruk.” Daniel masih memperhatikan Sania dengan lebih detail dari ujung kepala hingga kaki yang membuat Sania mendadak merinding. “Hanya saja penampilanmu kurang feminin.”

Sania berdecak kesal. Ucapan Daniel barusan jelas sangat menghinanya. “Apa rencanamu? Aku tidak akan mau kau ajak ke pesta besok. Jangan harap!”

“Aku akan membayarmu, kau tenang saja. Berapa yang kau minta?”

Sania mulai tergiur. Bukankah ia memang membutuhkan uang untuk pekerjaan apa pun? “Kau hanya akan membawaku ke pesta itu kan? Hanya dengan berpura-pura menjadi kekasihmu di hadapan sahabat-sahabatmu, bukan? Hanya satu hari? Dan selanjutnya aku bisa bebas, bukan?”

“Apa kau sudah selasai? Berapa banyak lagi pertanyaan yang ingin kau ajukan? Kau pikir aku mau berpura-pura menjadi kekasihmu? Cukup satu hari. Aku juga tidak dapat membayangkan apa tanggapan sahabat-sahabatku ketika aku membawamu ke pesta besok. Ubahlah penampilanmu dan jangan membuatku malu!”

To be continued…

3 comments on “[Berdebar] – [2] Blind Date

  1. Ping-balik: Read Fan Fiction

  2. Kirain Sania langsung diminta jadi pasangan nya Daniel di pesta pertunangan Eric dan Laura. Ternyata Daniel cuma minta saran aja. Haha.
    aigoo, itu Sania sampe ngatur blind date segala. Wkwk. Bner” deh si Daniel.
    next part pasti lebih seru..

Tinggalkan Balasan ke diiayu Batalkan balasan