[Berdebar] – [3] Sandiwara

berdebar_part 3_pitsansi

Main Cast: KIM WOO BIN as DANIEL RIGEL

BAE SUZY as SANIA OSCAR

OK TAECYEON as ERIC STEVANUS

IM YOONA as LAURA LARASATI

Sinopsis  |  Part 1  |  Part 2  |  Part 3  |  Part 4  |  Part 5  |  Part 6  |  Part 7  |  Part 8  |  Part 9

Part 10  |  Part 11  |  Part 12 [Proteksi]  |  Part 13 [Proteksi]  |  [End] Part 14 [Proteksi]

 

“Apa kau tidak ingin mengatakan sesuatu setelah melihatku secantik ini?”

Daniel menatap datail penampilan Sania yang anggun di hadapannya. Wanita itu mengenakan dress mini hitam mengkilat yang sangat pas di tubuhnya yang langsing. Rambut panjangnya kini dibiarkan terurai lepas, tidak seperti biasanya. Riasan wajah Sania pun sederhana namun menonjolkan bibir tipisnya yang menawan berwarna merah muda.

“Aku tak menyangka kau pintar berdandan,” Daniel berkomentar datar.

Senyum di wajah Sania sirna setelah mendengar komentar Daniel. Bukan komentar pujian yang didapatnya, dan memang seharusnya Sania tidak pernah mengharapkan hal itu dari pria bernama Daniel itu.

“Kau pikir aku sepertimu yang sama sekali tidak memiliki selera dalam berkencan?” Cibir Sania.

Daniel tersinggung, ia memperhatikan penampilannya sendiri. Penampilannya hampir sama setiap hari, warna juga modelnya. “Sudahlah, aku tidak mau mendengar komentarmu terhadapku. Kita harus segera berangkat, pesta pertunangan sahabatku hampir dimulai.” Daniel mengakhiri perdebatannya dengan Sania. Ini bukan saatnya untuk berdebat. Ia hanya perlu bersabar sampai malam ini selesai. Setelah itu kehidupannya akan kembali normal seperti biasa dan ia tidak perlu berurusan lagi dengan wanita itu.

Daniel berjalan mendahului Sania menuju tempat parkir mobilnya di depan apartemen sederhana milik Sania. Beberapa waktu lalu ia sengaja datang untuk menjemput wanita itu.

“Siapa nama sahabatmu yang akan bertunangan hari ini? Kupikir aku juga perlu tau.” Tanya Sania ketika ia dan Daniel telah duduk di dalam mobil yang tengah dikemudikan Daniel.

Benar juga. Daniel merasa Sania memang perlu tau untuk melancarkan jalannya sandiwara ini. Mungkin ia juga perlu memberikan beberapa arahan kepada wanita itu agar sahabat-sahabatnya nanti tidak mencurigai hubungannya dengan Sania.

“Namanya Eric.”

Deg!

Hanya sebuah nama, namun dapat dengan tiba-tiba menghantam dada Sania dengan sangat kuat. Sania berusaha mengontrol dirinya sesaat setelah mendengar Daniel menyebutkan nama yang tidak asing di telinganya itu. Ia berusaha berpikiran positif. Begitu banyak pria di dunia ini yang bernama Eric, tidak mungkin nama Eric yang baru saja disebutkan Daniel adalah orang yang sama dengan yang ada di kepala Sania saat ini.

“Kami adalah sahabat semasa sekolah di menengah atas dulu. Selain aku dan Eric, juga ada Fendy dan Hansen. Kami berempat sangat dekat dan terbuka dalam hal apa pun.” Daniel masih mencoba menjelaskan hal-hal yang perlu diketahui oleh Sania yang mungkin akan berguna dalam sandiwara mereka. “Lalu wanita yang bernama Nadya, apa kau masih ingat? Daniel melirik Sania sekilas lalu kembali fokus pada laju kemudinya. “Aku menghubungimu dan meminta bantuanmu untuk mendekatkannya denganku, namun gagal.”

“Ya, aku ingat!” Jawab Sania singkat. Ia berusaha mencerna semaksimal mungkin setiap informasi yang diberikan Daniel padanya, walau nama seorang pria yang diucapkan Daniel di awal tadi sangat mengganggu pikirannya. Kalau saja orang yang disebutkan Daniel tadi sama dengan seseorang yang ada di pikirannya saat ini, apa yang harus ia lakukan? Hari ini akan menjadi pertemuan mereka yang pertama setelah sekian lama saling menghilangkan jejak, melupakan masa lalu yang hanya menjadi mimpi buruk untuk Sania. Karena bagi Sania, hanya dengan mengingat nama itu, memaksnya untuk mengingat semua peristiwa dan tragedi pahit yang dialami dalam hidupnya.

“Nadya adalah adik kelasku semasa sekolah dulu. Ia menyukaiku dan menyatakan cintanya padaku dua tahun berturut-turut. Namun aku menolaknya karena aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Tidak kusangka sekarang ia berpacaran dengan temanku yang lain, Ricky.” Daniel tersenyum singkat menyadari segala hal di dunia ini sangat sulit di tebak. Hal yang tidak pernah terbayangkan olehnya pun bisa terjadi.

“Lalu, siapa pasangan sahabatmu dalam pertunangan hari ini?” Tanya Sania akhirnya. Ia tidak bisa mempungkiri hatinya yang juga masih ingin mendengar kabar tentang pria yang bernama serupa itu.

“Namanya Laura, ia adalah wanita tercantik di sekolah kami dulu. Ia sempat dekat dengan sahabatku, Hansen. Tapi sulit dipercaya sekarang justru Eric yang akan mendapatkan wanita itu.” Lagi-lagi Daniel tersenyum menyadari satu hal lain yang tidak pernah terbayangkan di kepalanya.

Laura? Sania mengulang-ngulang nama itu di kepalanya. Nama yang juga tidak asing. Sepertinya ia juga pernah mendengar nama itu beberapa kali dari pria yang dikenalnya dulu bernama Eric.

Mungkin Sania hanya perlu menanyakan nama sekolah Daniel bersama sahabat-sahabatnya dulu dan dia akan mudah menebak apakah pria yang bernama Eric itu adalah pria yang sama yang sedang dipikirkannya. Namun Sania mengurungkan niatnya itu. Ia hanya berharap dunia tidak sesempit yang dibayangkannya. Ia tidak berharap untuk bertemu dengan Eric yang ada di kepalanya.

“Bagaimana kalau satu bulan?”

Sania kembali ke alam sadarnya. Ia tidak begitu mendengar ocehan Daniel sedari tadi. Ia hanya mendengar pertanyaan terakhir pria itu.

“A-apa?” Tanya Sania tak mengerti.

“Mengenai sandiwara kita ini. Apabila sahabat-sahabatku bertanya sudah berapa lama hubungan kita, bagaimana kalau kita jawab satu bulan?”

Sania hanya mengangguk kecil, menyutujui saran itu.

—<><>—

Sania memaksakan kakinya untuk melangkah memasuki area pesta yang lebih dalam, berusaha mengimbangi langkah-langkah Daniel di depannya. Bersamaan dengan itu pula perasaan cemas sekaligus panik semakin menghinggapinya. Ia merasa salah karena telah berdiri di tempat itu. Tidak selayaknya ia menghadiri pesta pertunangan sahabat Daniel yang bernama Eric.

Sania menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ia harus yakin sahabat Daniel yang bernama Eric adalah orang yang sama dengan masa lalunya. Foto berukuran besar di depan pintu aula memaksanya untuk menerima kenyataan ini. Ia mematung untuk waktu yang cukup lama. Raut wajahnya yang cemas sangat sulit tergambarkan, hingga Daniel menoleh ke belakang ketika tidak dapat menemukan Sania di sebelahnya.

“Ada apa denganmu? Mengapa kau berhenti?” Tanya Daniel yang sudah mendekat. Ia memperhatikan ekspresi wajah Sania yang seperti orang panik.

“T-tidak apa-apa,” jawab Sania susah payah. Ia berusaha keras memerintahkan dirinya sendiri untuk bersikap wajar.

“Apa kau mau melarikan diri?” Tebak Daniel curiga.

Sania menatap bulat sepasang mata Daniel. Memang sempat terbesit di kepalanya untuk mencoba melarikan diri. Tapi ia terlalu pengecut bila harus mengambil cara itu untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

“Jangan coba-coba berbuat sesuatu yang melenceng dari sandiwara kita,” nada suara Daniel memperingatkan. Ia lalu segera meraih salah satu tangan Sania dan menarik wanita itu untuk ikut masuk ke dalam aula bersamanya, “Ayo ikut aku!”

Sania tidak melawan, otaknya sudah terasa sangat lelah karena sejak tadi dipaksa untuk bekerja keras ketika kenangan-kenangan pahit masa lalunya mendesak terputar kembali di kepalanya. Ia kini hanya berusaha menyeimbangkan langkah kakinya dengan langkah-langkah cepat Daniel.

Tidak lama kemudian Daniel menghentikan langkahnya ketika melihat dua orang pria yang dikenalnya akrab menghampirinya. Daniel melepas genggamannya di tangan Sania lalu mulai memberikan pelukan akrab kepada dua orang pria itu. Mereka bertiga nampak sangat senang seolah sudah sangat lama tidak saling berjumpa.

“Apa dia kekasihmu?” Tanya salah seorang pria itu kepada Daniel sambil menunjuk Sania.

Daniel menoleh ke arah Sania, lalu mengangguk. “Ya, dia adalah kekasihku. Namanya Sania. Sania kenalkan, ini sahabat-sahabatku. Namanya Fendy dan Hansen.”

Sania menatap ramah ke arah sahabat-sahabat Daniel itu sambil mengangguk sopan, sementara kedua pria itu nampak menunjukkan tatapan kagum akan sosok Sania.

“Kau cantik sekali,” ucap Fendy tak tertahan. “Senang berkenalan denganmu,” Fendy mengulurkan tangannya, mengajak Sania untuk bersalaman. Sania menyambut tangannya dengan sopan.

Senyuman ramah di wajah Sania perlahan demi perlahan sudah tak sanggup ia pertahankan lagi hingga berubah menjadi risih. Ia agak tidak nyaman karena sahabat Daniel yang bernama Fendy itu terus saja menggenggam tangannya lama, tanpa berniat untuk membebaskannya.

“Apa yang kau lakukan? Biarkan aku bersalaman dengannya juga!” Hansen menegur Fendy dan mencoba mengulurkan tangannya juga ke arah Sania.

Daniel yang sejak tadi hanya diam, mulai ikut tidak nyaman. Ia merasa sikap kedua temannya itu sudah sangat berlebihan, hingga ia memutuskan untuk ikut turun tangan. “Sudah, sudah. Bukankah kalian tadi sudah kuperkenalkan?” Tangan Daniel memaksa Fendy untuk melepaskan genggamannya di tangan Sania. Ia juga menepis tangan Hansen yang tidak jadi disambut Sania.

“Bagaimana bisa kau mendapatkan kekasih secantiknya? Yang ku tau kau sama sekali tidak terlihat memiliki ketertarikan dengan wanita nama pun.” Kata-kata Hansen sangat terang-terangan membuka kartu Daniel. Mereka memang bersahabat, jadi Daniel sudah terbiasa untuk tidak mudah tersinggung dengan lontaran-lontaran spontan dari sahabat-sahabatnya itu.

Daniel melirik Sania yang sejak tadi hanya diam sekali lagi. Wanita itu memang sangat cantik malam ini. Tapi ia sama sekali tidak menyangka Sania akan menarik perhatian sahabat-sahabatnya seluar biasa ini. Daniel bahkan sudah menyadari Sania sudah menarik perhatian para pria di pesta ini sejak mereka memasuki aula. Banyak pria-pria di pesta yang tertangkap matanya tengah melirik bahkan mencuri-curi pandang ke arah Sania.

“Memangnya apa yang salah? Aku ini kan tampan, jadi wajar kalau aku mendapatkan wanita yang cantik pula!” Jawab Daniel penuh percaya diri, yang disambut dengan cibiran pedas dari Fendy dan juga Hansen.

“Apa kau menjalankan ritual khusus?” Kali ini Fendy berbisik pelan kepada Daniel. Ia masih sulit mempercayai pemandangan di depannya itu.

Daniel langsung menanggapi dengan dengusan tak suka, “Apa maksudmu?” Bentaknya tak terima sambil menjauhkan telinganya dari Fendy. “Sudahlah, jangan takuti dia lagi. Ia terlihat sangat ketakutan.” Gerakan tangan Daniel secara alami melingkar di bahu Sania, yang seketika membuat kedua pria di depannya menatap iri padanya. Entah mengapa, pemandangan yang dilihat Daniel itu membuatnya merasakan kepuasan yang sulit tergambarkan. Setidaknya, ia merasa keputusannya membawa Sania ke pasta ini tidak salah dan ia tidak jadi menahan malu karena ejekan sahabat-sahabatnya yang terus saja menghantui pikiriannya sejak kemarin.

Daniel memang benar, jelas nampak ekspresi ketakutan di wajah Sania. Tapi wanita itu bukan takut pada kedua orang pria di hadapannya, ia jauh lebih takut kalau-kalau sewaktu-waktu orang yang paling tidak ingin ditemuinya tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Sejak tadi Sania terlihat sibuk melemparkan pandangannya ke segala penjuru aula untuk mengawasi kondisi sekitanya. Ia jadi tidak menyadari rangkulan Daniel di pundaknnya adalah sesuatu yang tidak wajar.

By the way, dimana pasangan kalian? Apa kalian datang tidak membawa pasangan?” Tanya Daniel sambil melihat kesekitar seperti mencari seseorang.

Fendy dan Hansen kompak menggeleng pelan.

“Kekasihku kebetulan tidak bisa hadir karena ada acara bersama keluarganya,” jawab Hansen santai. “Sementara Fendy…” Pria itu menggantungkan kalimatnya sambil melirik seseorang yang baru saja disebut namanya. “Ia baru saja putus beberapa hari yang lalu,” lanjutnya masih dengan nada tenang. Bukannya iba dan prihatin, Hansen justru tersenyum lebar seolah menggoda sahabatnya yang baru patah hati itu.

Fendy hanya melirik kesal ke arah Hansen tanpa bisa berkata apa-apa. Sementara Daniel menatap tak percaya pada dua orang sahabatnya itu. Semudah itukah? Tanyanya dalam hati. Kedua orang itu dengan sikap santai datang ke pesta pertunangan Eric tanpa membawa pasangan, dan tidak apa-apa. Kalau saja Daniel tau semuanya akan semudah ini, tentu ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan cara untuk membawa pasangan hari ini. Ia juga bisa beralasan yang sama seperti yang baru dikatakan Hansen tadi. Sayangnya ego dan harga dirinya yang terlalu tinggi sangat mendominasinya.

Sania berdehem pelan, sekedar untuk menarik perhatian kembali. “Bolehkah aku pergi? Aku ingin ke toilet sebentar,” ijinnya pada Daniel. Bersamaan dengan itu rangkulan Daniel di bahu Sania makin melemah hingga terlepas.

Daniel membalas tatapan Sania dengan tatapan memperingatkan. Ia masih curiga wanita itu akan melarikan diri sebelum acara ini berakhir.

“Hei, Daniel! Kau ini posesif sekali. Kekasihmu hanya ingin ke toilet, tapi dari tatapanmu sepertinya kau tidak mengijinkannya.” Kata-kata Hansen barusan menyudahi tatapan Daniel pada mata Sania.

“Bukan begitu, aku hanya takut ia akan tersesat,” sela Daniel asal.

“Kalau begitu biar kuantar.” Tawar Fendy yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Daniel serta tatapan terkejut dari Sania dan juga Hansen.

“Aku bisa sendiri,” Sania menjawab cepat. Sebelum Daniel mencoba menghalanginya, ia dengan segera melesat pergi menjauh dari pria itu.

Daniel terus saja menatap kepergian Sania yang semakin jauh darinya, hingga Hansen mengalihkan pandangannya dengan sekali hentakan di pundaknya. “Aku tidak menyangka kau banyak berubah,”

Daniel menoleh dengan terkejut, “Apa kau mau melukaiku?” Kesal Daniel sambil memegangi bahu kanannya yang perih.

“Dimana kau mengenalnya? Berapa lama kau mengejarnya?”

Daniel semakin risih dengan tindakan dan pertanyaan-pertanyaan dari dua orang sahabatnya itu, tapi mau tidak mau ia harus meladeninya walau harus berbohong. Paling tidak ia hanya akan menjalankan situasi sulit seperti ini hari ini, sedangkan esok hidupnya akan kembali normal seperti aktifitas kesehariannya, batinnya memberi semangat.

—<><>—

Sania tidak berbohong, awalnya. Namun, setelah merasa Daniel lengah, pikirannya mulai memerintahkan untuk segera pergi dari pesta ini sebelum seseorang yang tidak ingin ditemuinya melihatnya disini.

Sania berjalan mengendap-endap seperti maling menuju pintu keluar aula. Ia berharap aksinya ini tidak diketahui siapapun, termasuk Daniel. Sayangnya, ia hanya berhasil keluar dari aula itu beberapa langkah sampai seseorang memanggil namanya dari belakang, disusul langkah-langkah kaki cepat yang menuju ke arahnya dari dalam aula.

“Sania?” Suara panggilan itu terdengar ragu. Suara berat seseorang itu seketika membuat sekujur tubuh Sania kaku. Kakinya sulit ia gerakan seolah ada perekat kuat di telapak kakinya.

Sania menelan ludahnya, matanya terbuka lebar berusaha tidak terpengaruh dengan suara itu. Ia masih terlalu takut untuk menoleh, takut bila harus menghadapi sesuatu yang belum siap ia hadapi.

“Sania, kau kah itu?” Suara berat orang itu kembali memanggil namanya. Lalu bisa Sania dengar suara langkah-langkah kaki tadi yang sempat berhenti mulai terdengar perlahan semakin jelas dan sangat dekat.

Sania menegang di tempatnya, tak tau harus berbuat apa. Jantungnya bekerja diluar kendalinya, matanya semakin membulat ketika melihat seorang pria yang dikenalnya berjalan dari arah belakang hingga menghadap tepat di depannya berdiri.

Deg!

Jantung Sania berkerja berkali-kali lipat dari sebelumnya. Ia merasakan pukulan yang sangat hebat tepat di dadanya ketika kembali menatap wajah itu, wajah yang sangat ingin ia lupakan.

 

To be continued…

P.S: Ditunggu komentarnya. Beberapa part akhir akan diprotect, dan hanya readers aktif yang bisa baca sampai akhir :D/

3 comments on “[Berdebar] – [3] Sandiwara

  1. Wahh, ternyata Eric itu mantannya Sania. Kok bisa kebetulan gtu ya, kasihan Sania, uda hampir melupakan ternyata ketemu lagi 😦

  2. Ping-balik: Berdebar – Read Fan Fiction

Tinggalkan komentar