Main Cast: KIM WOO BIN as DANIEL RIGEL
BAE SUZY as SANIA OSCAR
OK TAECYEON as ERIC STEVANUS
IM YOONA as LAURA LARASATI
Sinopsis | Part 1 | Part 2 | Part 3 | Part 4 | Part 5 | Part 6 | Part 7 | Part 8 | Part 9
Part 10 | Part 11 | Part 12 [Proteksi] | Part 13 [Proteksi] | [End] Part 14 [Proteksi]
“Apa yang akan kau lakukan bila takdir dengan teganya mempertemukanmu kembali dengan seseorang yang paling ingin kau hindari?”
-Sania Oscar-
“Ternyata dugaanku benar!” Pria di hadapan Sania menyunggingkan sebelah bibirnya. Pria itu terlihat sangat tampan dengan setelan tuxedo hitam yang sangat pas di tubuh tegapnya. Seandainya saja bukan sebuah seringai yang ia tunjukkan, pria itu akan jauh lebih terlihat menawan.
Sania belum juga bersuara, tubuhnya masih mematung dan sangat sulit digerakan walau telah mencobanya berkali-kali. Ia terlalu terkejut melihat pria di masa lalunya kini berdiri tepat di hadapannya, Eric. Ia menyesal karena seharusnya ia melarikan diri sejak awal.
“Apa yang membawamu datang ke pestaku? Seingatku, aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman terdekat untuk datang ke pesta pertunanganku ini.” Pria yang bernama Eric itu masih terus menyunggingkan senyumannya dan menyaksikan kekakuan Sania dengan ekspresi cukup memuaskan.
Sania bergerak mengangkat telapak kakinya hingga bergeser pelan dengan susah payah. Setidaknya ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan pria itu. Ia membalas tatapan Eric sambil tersenyum angkuh, lalu berucap “Tentu aku datang karena undanganmu.”
Eric mengerutkan keningnya, “Aku yakin tidak mengundangmu!”
“Bukan aku, tapi pasanganku!” Jawab Sania mantap. Sebisa mungkin ia tidak mau terlihat begitu menyedihkan di depan pria itu.
“Pasangan?” Eric tercengang. “Apa yang kau maksud adalah kekasihmu? Siapa dia?” Tanyanya mulai penasaran. Semua tamu di pesatanya ini adalah pilihannya, dan ia kenal betul setiap orang yang diundangnya itu.
“Sayang, sedang apa kau disini?” Suara seorang wanita terdengar manja di belakang Sania, hingga sosok itu menampakkan diri di hadapannya, bergerak mendekati Eric. Tangan wanita itu bergelayutan manja di tangan Eric, membuat hati Sania seketika memanas tanpa bisa ia kendalikan.
“Aku hanya merasa perlu memastikan setiap tamu yang kurasa asing.” Nada suara Eric datar namun terdengar sangat tajam di telinga Sania. Matanya terus menatap wanita itu penuh selidik.
Wanita yang menempel manja pada Eric mengikuti arah pandang Eric dan mulai memperhatiakan Sania dengan sangat detail dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Apa kau mengenalnya?” Tanyanya kemudian.
Sania mencoba bertahan di tempatnya berdiri. Sekuat tenaga ia berusaha menahan hatinya yang memanas ketika harus melihat pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya. Eric adalah masa lalunya. Ya. masa lalunya yang kelam. Bagi Sania pria itu tidak lebih dari seorang pria pengecut yang hanya bisa bergerak sesuai kendali dari orang tuanya.
Sania tidak akan pernah bisa lupa bagaimana cara pria itu meninggalkannya ketika kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat tiga tahun lalu. Sejak saat itu Sania terpaksa harus putus kuliah dan bertahan hidup seorang diri. Eric yang saat itu masih menjadi kekasihnya mendadak sengaja menjaga jarak dengannya.
Eric langsung setuju ketika kedua orang tuanya memintanya untuk memutuskan hubungannya dengan Sania yang telah menjadi seorang yatim piatu. Pria itu malah tidak mencoba membela dan mempertahankan Sania sedikit pun. Sania merasa terhina dan sakit hati. Ia tidak menyangka hubungan yang telah dirajutnya selama tiga tahun dengan Eric tidak berarti apa-apa bagi pria itu.
Sejak tragedi itu, Sania bertekad dalam hatinya untuk sebisa mungkin menghindar dari pria yang sangat menyakiti hatinya itu. Ia tidak akan pernah mau masuk ke dalam kehidupan Eric, dan berusaha melupakan masa lalunya. Namun nyatanya tidak semudah itu. Pertemuannya malam ini sejak tiga tahun terakhir ternyata masih menyisakan perasaan pada Eric. Terlebih ketika menyadari pria itu akan segera menikah dengan wanita lain, bukan dengan dirinya yang dulu pernah ia impi-impikan.
“Sania sedang apa kau disini?” Suara seseorang dari belakang Sania, tiba-tiba saja menguatkannya. Ia hampir roboh di tempat kalau saja tidak ada suara orang itu yang berhasil mengalihkan tatapan tajam Eric di mata sekaligus hatinya.
Eric dan wanita di sampingnya menoleh ke sumber suara dengan ekspresi terkejut. Mereka melihat Daniel berjalan dengan sedikit tergesa-gesa hingga berhenti di samping Sania.
“Kemana saja kau? Aku mencarimu sejak tadi!” Seru Daniel sedikit kesal. Pria itu terlalu fokus pada Sania sehingga belum menyadari sepasang manusia yang berdiri di depannya tengah memperhatiknnya dengan kepala penuh tanda tanya.
Diluar dugaan, Eric tiba-tiba memasang ekspresi kesal hanya karena mendengar nada suara Daniel tadi yang terdengar sangat mengkhawatirkan Sania. Ternyata ia juga masih memiliki perasaan terhadap mantan kekasihnya itu.
Berbeda dengan Eric, Sania justru mendengar nada suara Daniel tadi penuh dengan kemarahan. Ia tau Daniel sedang sangat marah karena mengira dirinya mencoba untuk melarikan diri.
“Sayang, maaf membuatmu mengkhawatirkanku!” Ekspresi Sania mendadak berubah. Ia berkata sambil memeluk lengan Daniel manja. “Aku hanya sedang mencari udara segar di sekitar sini.” Kini ia mulai tersenyum manis pada Daniel. Senyum yang baru pertama kali dilihat Daniel dari wanita itu.
Daniel mendadak bergidik ngeri menyaksikan perubahan sikap yang ditunjukkan Sania padanya. “Ada apa denganmu?” Tanyanya heran.
“Apa dia kekasihmu?” Tanya wanita tunangan Eric.
Daniel menoleh cepat, bersamaan dengan itu pula ia baru menyadari Eric dan Laura tengah memperhatikannya sejak tadi.
“Y-ya, betul Laura. Ia adalah kekasihku, namanya Sania. Sania kenalkan, mereka adalah pemilik acara pertunangan ini. Sahabat semasa aku sekolah dulu, Eric dan Laura.” Terang Daniel, ia berusaha terlihat wajar dan meyakinkan.
“Benarkah?” Laura nampak tak percaya. Sementara Eric tidak mampu mengeluarkan suara. Hatinya tiba-tiba memanas melihat Sania nampak tersenyum ceria dan bergandengan dengan pria lain.
“Senang berkenalan dengan kalian.” Sania mencoba tersenyum sealami yang ia bisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di lengan kiri Daniel, seperti tidak mau kalah mesra dari pasangan di depannya.
“Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan?” Tanya Eric tiba-tiba yang seketika membuat panik Daniel dan Sania bersamaan.
“Satu bu—”
“Satu tahun!” Sania berhasil mendahului Daniel bersuara. Ia berkata dengan sangat meyakinkan dan penuh dengan tekanan. Ia terus menatap Eric dengan berapi-api. Ia bahkan tidak menghiraukan tatapan terkejut yang dilayangkan Daniel kepadanya.
Eric memperhatikan Daniel dan Sania bergantian. Perasaannya masih campur aduk. Ia menyadari tidak seharusnya ia merasa cemburu melihat Sania bahagia dengan pria lain. Ia bukan lagi bagian dari Sania, namun ia juga tidak dapat membohongi hatinya yang masih menyimpan perasaan pada wanita itu.
—<><>—
“Apa yang kau lakukan tadi?” Daniel mengeluh ketika dirinya tengah melajukan mobilnya menuju apartemen Sania.
Sania yang duduk di sebelah Daniel, menoleh. “Apa?” Tanyanya tanpa dosa. Sebenarnya ia paham betul arah pembicaraan Daniel barusan. Ia sendiri pun tidak dapat mengendalikan sikapnya tadi. Pemandangan mesra yang ditunjukkan Eric dengan wanita lain benar-benar menyulut rasa cemburunya.
Cemburu? Sania bertanya-tanya dalam hati tentang satu kata itu. Seberapa keras pun ia menyangkalnya, namun akhirnya ia menyerah. Nyatanya ia memang masih menyimpan perasaan kepada Eric. Ia hanya tidak ingin pria itu tertawa meremehkan dirinya yang dianggap masih tidak bisa melupakan pria itu.
“Kau menggandeng tanganku dan bersikap seperti wanita genit!” Daniel merinding hanya dengan membayangkan sikap aneh Sania di pesta tadi. “Dan sepertinya kau dan Eric sudah saling kenal sebelumnya.”
Sania menoleh cepat. “B-bagaimana kau bisa berpikiran seperti itu?” Tanyanya sedikit panik.
“Aku melihat kalian bertatapan sangat lama seperti memendam sesuatu. Apa tebakanku benar?” Daniel melirik sejenak Sania yang masih menatapnya lekat, kemudian kembali fokus dengan laju mobilnya.
“T-tidak, aku baru mengenalnya hari ini!” Jawabnya setenang mungkin. Ia mengikuti arah pandang Daniel ke jalanan lurus ke depan.
“Benarkah?” Daniel kembali menoleh, kali ini cukup lama hingga membuat Sania salah tingkah. “Aku tau kau menyukainya!” Ucapnya asal.
Sania menatap tak percaya. Bagaimana bisa Daniel berkata seperti itu? “Kau ini bicara apa?”
“Ingat Sania, dia itu baru saja bertunangan dan akan segera menikah. Kau tidak boleh merusak hubungan orang lain yang sudah berbahagia. Terlebih lagi, Eric adalah sahabatku. Kau akan membuatku malu bila melakukan hal itu!”
Sania makin ternganga tak percaya dengan ucapan dan pikiran Daniel itu. “Kau pikir aku serendah itu? Lagi pula dari mana kau punya pemikiran licik seperti itu? Aku tidak menyukainya!” Tegas Sania dengan suara lantang. Sedetik kemudian ia tertegun dengan ucapannya sendiri. Ia telah berbohong karena mengatakan tidak menyukai Eric.
Daniel mendesah dengan seulas senyum tipis di bibirnya. “Mengapa kau berteriak-teriak seperti itu? Baguslah bila yang kukatakan tadi tidak akan terjadi!”
Sania merasa dirinya kacau. Selama ini ia sudah merasa bisa melupakan sosok Eric dari kehidupannya. Namun ternyata tidak sepenuhnya, masih ada sedikit perasaannya yang tersisa untuk pria itu walaupun selama tiga tahun ini ia pupuk bersama dendam masa lalunya.
“Biar bagaimana pun kau telah membantuku malam ini. Sandiwara kita sudah berakhir dan aku akan hidup normal seperti biasa. Aku akan mentransfer pembayaran yang kujanjikan padamu!”
Sania tidak menyimak betul perkataan Daniel, pikirannya terlalu kacau untuk mencerna setiap kalimat yang masuk ke otaknya saat ini.
—<><>—
Daniel mengangkat dengan malas sebuah panggilan masuk di ponselnya. Fendy menghubunginya disaat ia sedang sangat sibuk meneliti berkas-berkas yang menumpuk di atas meja kerjanya.
“Ya, Fendy. Ada apa?” Jawab Daniel to the point.
“Nada suaramu sangat tidak bersahabat. Bisa kutebak kau pasti sedang stress karena pekerjaanmu.” Fendy menjawab dari seberang telepon sambil terkekeh pelan.
“Bila kau sudah tau, tak seharusnya kau menggangguku!”
“Kau salah bila mengiraku mengganggumu. Aku justru ingin menyelamatkanmu!”
“Menyelamatkanku?” Daniel mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Eric mengajak kita untuk berkumpul-kumpul malam ini di kafe langganan kita sewaktu sekolah dulu. Kau bisa merefresh pikiranmu sejenak.”
Daniel menegang di tempatnya. Tawaran untuk berkumpul seperti ini memang bukan hanya terjadi hari ini, sahabat-sahabatnya itu sering menghubunginya untuk berkumpul bersama. Namun dengan berbagai macam alasan, Daniel berhasil menolak dan menghindar. Karena yang ia tau, sahabat-sahabatnya itu akan saling memperkenalkan kekasihnya masing-masing, lalu mempertanyakan dirinya yang masih sendiri.
Daniel tidak menyangka ia kembali harus dipusingkan mengenai masalah ini. Sudah seminggu sejak pertunangan Eric, dan ia sudah tidak lagi berhubungan dengan Sania selama itu.
Seperti dapat membaca pikiran Daniel, Fendy segera menyahut, “Tanpa membawa pasangan!”
Daniel masih menegang di tempatnya, namun sudah mulai dapat menghela nafas lega walau belum mengerti sepenuhnya dengan perkataan sahabatnya itu.
“Ini permintaan Eric. Ia yang mengusulkan kita datang seorang diri tanpa pasangan. Walau sebenarnya aku sangat ingin melihat Sania, hehe.”
“Hei!” Nada suara Daniel spontan memperingatkan.
“Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda. Kau sangat posesif pada wanita cantik itu!” Fendy menyela cepat sebelum Daniel kembali memperingatkannya. “Kau akan datang, bukan?”
“Sepertinya aku—”
Sebelum Daniel melakukan penolakan seperti biasanya, Fendy segera menyahut. “Aku tidak mau mendengar alasan-alasanmu lagi. Ini permintaan Eric, belum tentu ia punya waktu berkumpul dengan kita ketika ia telah menikah nanti!”
Daniel berpikir ulang. Ia datang tanpa harus membawa pasangan. Bukan sesuatu yang buruk, pikirnya. Ia juga tidak harus bersusah payah memikirkan cara untuk mengajak Sania. “Baiklah, akan kuusahakan!” Jawabnya akhirnya.
—<><>—
“Sania, kau jarang kemari belakangan ini. Apa kau sibuk?”
Sania meletakkan piring-piring kotor ke tempat pencucian piring, lalu menoleh ke arah bibi Marin yang mengikutinya dari belakang.
Sania tersenyum ramah lalu mengangguk pelan. “Maafkan aku,” ucapnya menyesal. Tangan Sania kembali bergerak menyalakan kran air dan mulai membilas piring-piring kotor yang ia bawa tadi.
Bibi Marin menggelengkan kepalanya. “Aku hanya mengkhawatirkan kondisimu. Sebaiknya kau beristirahat dan tidak usah membantuku disini. Kau pasti lelah karena sibuk belakangan ini.”
“Tidak apa-apa, Bi.” Sania menghalangi tangan bibi Marin yang hendak mengambil alih pekerjaan mencuci piring. “Aku senang bisa membatu Bibi walau hanya sedikit. Bibi istirahat saja sebentar.” Senyuman tulus Sania tidak pernah pudar di wajah cantiknya setiap kali berhadapan dengan bibi Marin.
Hanya bibi Marin yang peduli padanya ketika ia harus kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan pesawat. Bibi Marin dengan kasih sayangnya merangkul Sania agar tetap tabah dan lapang dada menerima kenyataan pahit itu.
Sikap bibi Marin yang sangat keibuan membuat Sania selalu nyaman di dekatnya. Bibi Marin dulu pernah mempunyai seorang putri seumuran dengan Sania yang selalu membantunya menjaga dan mengelola usaha rumah makan sederhana miliknya setelah suaminya meninggal dunia. Namun sayang, putri yang sangat disayanginya itu harus pergi menyusul ayahnya karena memiliki jantung yang sangat lemah. Putrinya itu hanya bertahan hingga umur 18 tahun.
Namun bibi Marin tetap bersyukur, ia sangat menyayangi Sania seperti putrinya sendiri. Sebenarnya ia sangat ingin Sania tinggal bersamanya, namun gadis itu selalu menolak dengan sopan, dengan alasan tidak mau merepotkan dan ingin hidup mandiri. Walau pun bibi Marin sama sekali tidak keberatan, namun ia mencoba menghormati pilihan Sania. Ia akan selalu mendukung apa pun yang dilakukan gadis itu. Dengan Sania sering datang mengunjunginya saja, bibi Marin sudah cukup senang dan bahagia.
Sania merasakan getaran ponsel di sakunya ketika sedang sibuk mencuci piring-piring kotor yang hampir selesai. Ia membilas tangannya yang penuh busa sabun dengan gerakan cepat, lalu meraih ponsel dari sakunya. “Halo?”
Beberapa saat ia hanya terdiam seperti tengah menyimak perkataan seseorang dari seberang ponselnya. “Satu jam lagi?” Tanyanya sambil melirik jam dinding di belakangnya. “Baiklah, aku akan segera kesana!” Jawabnya kemudian lalu memutus sambungan telepon.
“Sepertinya kau sedang ada urusan penting. Sudah pergi saja, biar Bibi yang melanjutkan mencuci piringnya!” Bibi marin yang sedari tadi berada di dekat Sania mulai bergerak mencoba menghentikan tangan Sania yang akan kembali melanjutkan pekerjaan mencucinya.
“Biar aku saja, Bi. Lagi pula aku sudah hampir selesai!” Lagi-lagi Sania menghalangi bibi Marin untuk menyentuh piring-piring itu.
—<><>—
“Bagaimana kau bisa mengenalnya?” Eric mengawali pembicaraan ketika ia hanya berdua dengan Daniel di kafe malam harinya. Fendy dan Hansen baru saja ijin untuk ke kamar kecil.
Daniel menoleh bingung ke arah Eric. “Siapa yang kau maksud?”
“Sania!” Nada suara Eric tegas dan terang-terangan. Ia nampak tidak mau berputar-putar. Sorot matanya tajam seperti berusaha membaca setiap ekspresi yang diperlihatkan Daniel.
Daniel tertegun. Secangkir cappuccino yang baru saja ingin disesapnya mendadak menjauh hingga kembali ke tempat semula di atas meja. Ia melupakan satu hal ketika dengan sukarela datang ke kafe ini. Walaupun ia diharuskan datang tanpa membawa pasangan, tetapi pasti sahabat-sahabatnya akan sesekali menanyakan tentang kekasihnya.
Tatapan mata Eric yang seolah menyudutkannya, membuat Daniel mau tak mau harus segera menjawab, jawaban apa saja yang paling cepat melintas di kepalanya saat ini. “I-ibuku yang mengenalkannya padaku!” Daniel hampir tak bisa bernafas ketika melontarkan kebohongan pertamanya malam ini tentang Sania.
Air muka Eric kini sulit di tebak, “Ibumu? Berarti ibumu sudah mengetahui hubunganmu dengan Sania?” Tanyanya penasaran.
“T-tentu saja. Kami sudah menjalin hubungan selama setahun, tentu wajar bila kami sudah saling mengenalkan dengan keluarga terdekat.” Daniel menenggak ludahnya dengan gugup. Entah dari mana hingga kalimat itu terucap begitu saja dari mulutnya. Kini ia hanya dapat merutuki dirinya sendiri. Ia bahkan tidak tau sama sekali mengenai keluarga Sania.
“Apa ibumu menyetujui hubunganmu dengan Sania?” Eric bertanya untuk yang kesekian kalinya. Pria itu nampak selalu penasaran dengan semua hal yang berkaitan dengan hubungan Daniel dan Sania.
Daniel kebingungan, “Tentu saja!” Jawabnya cepat. Sedetik kemudian ia mulai menyadari ada sesuatu yang aneh dari sorot mata dan sikap Eric. Pria itu terdengar tidak canggung ketika menyebut nama Sania, terlalu tidak wajar untuk seorang yang baru saling mengenal. “Apa kau mengenal Sania sebelumnya?” Pertanyaan itu akhirnya terlontarkan oleh Daniel. Kini ia memperhatikan dengan detail setiap perubahan ekspresi di wajah Eric.
Sikap Eric santai. Pria itu menyandarkan tubuhnya di kursi kafe yang berada tepat di depan Daniel. “Aku seperti pernah mengenalnya sebelumnya!”
Kalimat Eric barusan terasa ambigu di telinga Daniel. “Maksudmu?” Tanya Daniel masih tak mengerti.
Eric mengangkat bahu lalu menyesap kopi hitam di cangkir miliknya. Tidak lama kemudian Fendy dan Hansen sudah kembali berkumpul bersama mereka.
“Daniel, apa kau yakin datang seorang diri kesini?” Fendy buru-buru bertanya pada Daniel ketika dirinya sudah duduk di sebelah pria itu.
“Aku datang sendiri.” Daniel mengangguk.
“Benarkah? Tetapi tadi aku seperti melihat kekasihmu, Sania.” Ucap Fendy ragu.
Daniel terbelalak tak percaya. Ia khawatir wanita yang dilihat Fendy tadi adalah benar Sania. Sementara Eric nampak tertarik mendengar nama Sania disebut.
“T-tidak mungkin. Sudah malam begini, Sania pasti sudah tidur.” Daniel berusaha meyakinkan, walau sebenarnya ia pun ragu dengan perkataannya barusan.
“Sudah kubilang! Kau pasti salah lihat!” Hansen menambahkan. Kata-katanya ia tujukan untuk Fendy.
“Mungkin juga.” Ucap Fendy pasrah.
Ketika Daniel tengah berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri, dan Hansen tengah membahas masa-masa sekolah mereka bersama Fendy, Eric bangkit berdiri dari kursinya dan meminta ijin untuk ke belakang. Ucapan Fendy yang mengatakan melihat Sania, telah mengusiknya untuk mencari tau kebenarannya. Pria itu berjalan perlahan menuju pintu keluar kafe sambil memindai pandangannya seperti sedang mencari seseorang.
—<><>—
“Apa kau yang bernama Sania Oscar?”
Sania mengangguk pada pria setengah baya yang baru saja keluar dari pintu kafe.
“Apa kau bisa menyetir?” Tanya pria setengah baya itu.
Sania mengangguk sekali lagi.
“Kau tunggu sebentar disini. Aku akan memapah temanku hingga masuk ke mobil. Tolong kau antarkan dia ke rumahnya. Ini alamatnya.” Pria setengah baya itu memberikan secarik kertas bertuliskan tangan pada Sania, lalu berbalik kembali masuk ke dalam kafe.
Sania menunggu dengan tidak sabar di depan pintu kafe. Setelah membaca singkat sebuah alamat di kertas itu, ia menyimpannya di saku balzer putih yang ia kenakan.
“Sania?”
Sania menoleh ke sumber suara yang baru saja memanggil namanya. Matanya membulat ketika menyadari seseorang yang baru saja keluar dari pintu kafe.
“E-eric?” Sania masih tak percaya.
“Sedang apa kau disini?” Eric mendahului Sania untuk menanyakan hal yang sama.
“A-aku sedang mencari udara segar,” jawab Sania sekenanya. Ia tidak ingin Eric tau bahwa saat ini ia sedang berprofesi sebagai sopir sewaan.
Eric mengangguk paham. Ia cukup lega karena Sania tidak mengatakan sedang mencari Daniel, seperti dugaan awalnya.
Mereka berdua berpandangan untuk waktu yang cukup lama, sama seperti pertemuan mereka di pesta pertunangan Eric seminggu yang lalu. Namun bedanya kali ini sorot mata Eric sama sekali tidak terlihat menyudutkan, juga tidak ada seringai licik di wajah pria itu.
Sania terpaku di tempatnya berdiri. Ia sangat berharap Eric segera mengakhiri basa basinya dan segera pergi meninggalkannya sendiri sebelum pria setengah baya yang menyewa jasanya datang. Namun setelah beberapa lama menunggu, harapannya tidak terwujud. Yang ada, ia dibuat makin mematung ketika kini melihat seulas senyum di bibir Eric. Sebuah senyuman, bukan seringai.
“Apa kau ada waktu? Ada yang ingin kubicarakan,” Eric berkata lembut.
Sania masih terdiam, ia masih sulit mencerna perubahan sikap pria itu yang dirasanya sangat tiba-tiba.
“Kita sudah lama sekali tidak bertemu. Banyak yang ingin kubahas denganmu. Kuharap kau—”
“Aku sibuk.” Potong Sania cepat. Ia bersyukur karena berhasil mengendalikan dirinya. Awalnya ia sempat akan mengiyakan permintaan Eric tadi akibat dorongan perasaannya.
Senyum di wajah Eric perlahan memudar. “Bukankah kau bilang tadi hanya sedang mencari udara segar? Aku janji tidak akan lama.”
Sania menggeleng. “Maafkan aku, ini sudah terlalu malam. Aku harus segera pulang!” Sania akhirnya berbalik hendak pergi dari hadapan Eric, namun gagal. Tangan pria itu dengan sigap meraih salah satu pergelangan tangannya dan menahannya untuk tetap di tempat.
Sania menatap tak percaya dengan sikap Eric. Pria itu seolah berani menyentuhnya tanpa merasa bersalah sedikit pun atas sikap pria itu padanya tiga tahun lalu.
Sania menarik kasar tangannya hingga terbebas dari Eric. “Kumohon jangan ganggu aku!” Ucapnya dengan nafas memburu.
Eric menghela nafas sesaat. “Sania, maafkan aku. Saat itu aku—”
“Hentikan!” Sania setengah berteriak hingga tanpa sadar menarik perhatian beberapa pengunjung yang kebetulan berada di dekat pintu masuk kafe. “Jangat ingatkan tentang itu! Aku pergi dulu!” Kali ini Sania benar-benar berbalik dan berjalan setengah berlari hingga menghilang di belokan dinding kafe.
Eric masih berdiri di tempatnya tanpa berniat untuk menyusul Sania. Ia sendiri pun tidak mengerti atas tindakannya itu. Awalnya yang ia kira telah berhasil melupakan Sania, dan merasa bahagia akan segera menikah dengan wanita tercantik di sekolahnya dulu—Laura, nyatanya tidak seperti itu. Sejak pertemuannya kembali dengan Sania setelah tiga tahun lamanya, Eric merasa ia masih sangat mengharapkan mantan kekasihnya itu lebih dari tunangannya sendiri.
Eric terpaksa harus bergeser sedikit dari pijakannya ketika seorang pria paruh baya dengan tergopoh-gopoh baru saja keluar dari pintu kafe dengan memapah seorang pria yang nampak mabuk berat hingga masuk ke dalam sebuah mobil.
Eric tidak terlalu tertarik akan hal itu dan berniat untuk masuk kembali ke dalam kafe. Namun niatnya itu perlahan diurungkan ketika melihat Sania masuk ke dalam mobil yang sama dengan pria mabuk tadi. Wanita itu duduk di bangku kemudi dan melajukan mobil itu menjauh dari kafe.
Banyak tanda tanya yang kini bersarang di kepala Eric. Ia belum bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi.
—<><>—
Daniel melahap sarapannya di hari minggu dengan lahap, sementara seorang wanita yang masih terlihat sangat cantik walau telah memasuki usia ke 60 tahun di depan Daniel terus saja menatap putranya itu dengan intens sambil tersenyum penuh arti.
“Kau terlihat sangat ceria hari ini, Daniel!”
Daniel mengangkat kepalanya, menatap ibunya yang baru saja berbicara padanya. “Maksud Ibu?”
“Biar Ibu tebak, pasti setelah ini kau mau pergi berkencan dengan kekasihmu!” Tebak ibu Daniel dengan tatapan menyudutkan.
Glek! Daniel menelan suapan terakhirnya dengan susah payah. Jantungnya serasa melompat keluar ketika mendengar ibunya menyinggung mengenai kekasihnya. Buru-buru ia mengambil segelas air putih yang tidak jauh dari jangkauannya dan meminumnya dengan gerakan cepat. Ia merasa suapannya tadi masih menyangkut di tenggorokannya dan dirinya akan mati bila tidak segera menenggak air putih untuk membantu menelan makanan itu.
“Mengapa kau tidak menceritakan pada ibu kalau kau sudah memiliki kekasih bernama Sania?” Ibu Daniel kembali bersuara. Wanita itu sama sekali tidak curiga dengan sikap aneh Daniel.
Bersamaan dengan pertanyaan terakhir ibunya, Daniel menyemburkan sebagian air yang tidak sanggup ditelannya. Perkataan ibunya tadi benar-benar membuatnya terkejut. Bagaimana ibunya bisa tau?
“Daniel, apa kau baik-baik saja?” Ibu Daniel mulai panik ketika mendengar Daniel mulai terbatuk-batuk karena tersedak minumannya.
“Aku baik-baik saja,” jawab Daniel cepat. Ia menenggak kembali minumannya hingga ia merasa lebih baik dari sebelumnya. “Apa yang ibu tanyakan tadi?”
“Beberapa hari yang lalu ibu secara tidak sengaja bertemu dengan temanmu, Eric. Ibu memberinya ucapan selamat atas pertunangannya beberapa waktu lalu, Ibu masih ingat kau pernah menceritakannya pada ibu bahwa ia sudah bertunangan. Ia mengatakan kau datang ke pesta pertunangannya dengan membawa seorang wanita yang kau kenalkan sebagai kekasihmu. Kau ini tega sekali tak menceritakannya pada ibu!”
“Kapan Ibu bertemu dengannya?” Tanya Daniel masih panik.
Ibu Daniel nampak berpikir sejenak, “Dua hari yang lalu. Eric sepertinya sangat terkejut karena ibu belum mengetahui tentang kekasihmu itu. Karena memang kau belum memberitahu ibu kalau kau sudah punya kekasih!” Ibu Daniel tidak bisa menyembunyikan senyumannya sejak awal perbincangannya dengan Daniel. Wanita itu sangat senang akhirnya putranya berhasil mendapatkan seorang wanita idaman. Karena yang ia tau, putranya itu tidak pernah terlihat menggandeng atau bahkan mendekati seorang wanita. Ia bahkan sempat berpikir untuk melakukan perjodohan agar Daniel tidak terlalu lama melajang. Namun sepertinya hal itu tidak perlu ia lakukan, karena kini Daniel telah memiliki seorang kekasih.
Daniel masih terlihat sangat panik. Ia mulai berpikir, baru kemarin malam ia bertemu dengan Eric dan mengatakan bahwa perkenalannya dengan Sania adalah karena ibunya. Daniel baru menyadari pantas saja Eric terlihat sangat aneh ketika mendengar penjelasannya itu. Ternyata pria itu telah bertemu dengan ibu Daniel sebelumnya dan mendapati jawaban yang berbeda.
“Bisakah kau mengenalkannya pada Ibu hari ini?”
Daniel spontan menatap ibunya dengan cepat. Ia panik bukan main. Ia tidak pernah membayangkan sandiwaranya dengan Sania akan berbuntut panjang seperti ini. Ia terlalu berpikiran pendek sehingga mengabaikan hal yang paling penting. Ia seharusnya telah mempertimbangkan hal ini sejak awal mengambil keputusan, memikirkan hingga dampak terburuk bila ibunya mengetahui tentang sandiwaranya.
Daniel harus berhati-hati tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan ibunya. Ibunya memiliki riwayat penyakit jantung turun temurun dari keluarganya. Hal sekecil apapun yang membuatnya syok akan berakibat fatal untuk kesehatannya bahkan bisa mengakibatkan kematian, sepeti yang terjadi pada nenek serta nenek buyut Daniel.
“Daniel, apa kau mendengarkan Ibu bicara?” Ibu Daniel menyadari ada yang aneh dari air muka putranya itu.
“B-baiklah. Aku akan mengenalkannya pada Ibu hari ini!”
Senyum ibu Daniel mengembang sempurna. Tidak pernah Daniel melihat ibunya segembira hari ini, ketika mendengar ia sudah memiliki kekasih.
To be continued…
P.s: Hai readers! Cerita ini sudah kutulis sampai akhir, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk publish part demi part. Mohon partisipasinya untuk meninggalkan komentar di setiap part, karena bebepara part akhir akan diprotect. Dan hanya readers yang aktif yang bisa membaca hingga akhir cerita.
Sekian ^^
Seruuuu seruuuu..
apa eric masih menyimpan perasaan untuk sania?
Wahh itu ibuny daniel minta dikenalin sama sania? Kira” gmn kelanjutannya ya?? Segera di posting ya chingu. Hehe
Waaahh… Makasih kamu udh mau berkunjung kesini. Semoga suka sama ceritanya :D/
Ping-balik: Berdebar – Read Fan Fiction
Sania baik bgt ya mau bantuin bu marin meskipun byk kerjaan…daniel kyknya msh belum ad feel apa2 sm sania wkwk serruu thorr